KPA: Konflik Agraria di Indonesia Naik
Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi dengan 111 kasus, disebabkan perkebunan sawit.
Hiruk pikuk kontestasi politik elektoral 2024 tidak mampu menahan laju eskalasi letusan konflik agraria di Indonesia. Sepanjang 2024, KPA mencatat sedikitnya terjadi 295 letusan konflik agraria yang terjadi di semua sektor.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis, letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1,1 juta hektar, tepatnya 1.113.577,47 hektar, yang berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Terjadi kenaikan letusan konflik agraria hingga 21 % pada tahun 2024 jika dibandingkan tahun 2023 yang berjumlah 241.
Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi dengan 111 kasus, dimana 75 kasus (67 %) disebabkan oleh perkebunan sawit dengan dengan luas 127.281,30 hektar dan korban terdampak mencapai 14.696 keluarga. Sementara sektor infrastruktur menyebabkan 79 kasus letupan konflik dengan luas mencapai 290.785,11 hektar dan berdampak pada 20.274 keluarga.
Sebagian besar konflik agraria infrastruktur tersebut disebabkan oleh PSN dengan 36 kasus dari 39 total kasus konflik agraria PSN yang terjadi pada tahun 2024 (3 kasus lainnya disebabkan food estate). Selanjutnya sektor pertambangan menyebabkan 41 ledakan konflik yang didominasi oleh industri batubara (14 kasus) dan nikel (11 kasus).
Secara sebaran, konflik agraria terjadi di 34 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia. Provinsi Sulawesi Selatan menempati posisi pertama dengan 37 kasus, Sumatra Utara (32), Kalimantan Timur (16), Jawa Barat (16), Jawa Timur (15), Sulawesi Tengah (13), Sumatra Barat (12), Sumatra Selatan (11), DKI Jakarta (11), dan Jambi (10).
Konflik agraria tahun ini juga menyebabkan ratusan kasus kekerasan dan kriminalisasi. Selama 2024, sedikitnya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat keterlibatan aparat di wilayah konflik agraria. Korban-korban tersebut di antaranya mengalami kriminalisasi sebanyak 399 orang, dianiaya atau mengalami kekerasan sebanyak 149 orang, sebanyak 4 orang ditembak dan 4 orang tewas akibat tindakan gegabah para aparat.
Potret di balik konflik agraria 2024
Selama 2024, petani menjadi kelompok yang paling terdampak dari letupan-letupan konflik agraria. Dari total 295, 173 diantaranya melibatkan petani sebagai korban. Kelompok kedua yang paling sering menjadi korban adalah kelompok masyarakat miskin kota. Mereka tergusur atau terdampak sebanyak 56 kali. Kelompok ketiga yang paling sering menjadi korban adalah Masyarakat Adat dengan 53 kasus. Terakhir, kelompok nelayan yang menjadi korban sebanyak 13 kali.
Dari sisi lanskap agraria, tanah pertanian rakyat yang paling sering terdampak konflik agraria, sejalan dengan data di atas. Dari total 295 ledakan konflik, 178 kasus terjadi di atas tanah pertanian rakyat dengan total luas mencapai 326.224,34 hektar, dan korban sebanyak 46.642 rumah tangga petani.
Jika dikalkulasikan secara rata-rata rumah tangga petani, maka setidaknya terdapat 93.284 petani (laki-laki dan perempuan petani), yang menjadi korban konflik agraria sepanjang tahun 2024.
Estimasi tersebut bisa jadi lebih, sebab dalam budaya masyarakat pedesaan dan pertanian di Indonesia, lumrah ditemukan model usaha pertanian dalam skala rumah tangga, yang tidak hanya melibatkan suami-istri, melainkan juga mengikutsertakan anak-anak dalam membantu penggarapan lahan.
Hasil pemantauan dan analisis yang dilakukan KPA, menemukan bahwa konflik agraria yang terjadi sepanjang 2024 merupakan konflik-konflik lama yang meledak kembali akibat tindakan sepihak pemerintah, badan usaha, baik swasta maupun milik negara hingga aparat keamanan. Selain meletupnya konflik, peristiwa tersebut kembali memakan korban.
Sebagian besar merupakan konflik yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir, atau kasus konflik agraria baru yang terjadi di era pemerintahan Jokowi. Sisanya merupakan konflik-konflik agraria lama (latent, manifest) yang telah berumur puluhan tahun, namun belum kunjung selesai konfliknya.
Dari sisi aktor penyebab konflik, badan usaha swasta mendominasi sebagai penyebab utama letupan konflik agraria 181 kasus konflik agraria. Di sisi lain, badan usaha swasta diprediksi juga akan pemicu konflik agraria yang lebih luas. Apalagi pada tahun ini, pemerintah memberikan “kedok PSN” untuk proyek-proyek yang sarat kepentingan swasta agar masuk ke dalam daftar PSN seperti Proyek Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Mundur jauh ke belakang, ada proyek Lido yang digawangi MNC Group.
Catatan lain adalah Badan Otorita dan Badan Bank Tanah yang menjelma menjadi wajah baru perampas tanah selama beberapa tahun terakhir (terutama sejak UU Cipta Kerja). Tahun ini, operasi Badan Otorita menyebabkan 14 letupan konflik dan Badan Bank Tanah sebanyak sebanyak 7 kasus konflik.
Rentetan kasus agraria yang terjadi sepanjang tahun ini tidak tidak bisa dilepaskan dari pola-pola kejahatan korupsi, kolusi dan manipulasi. Praktek korupsi, kolusi dan manipulasi itu menjelma dalam praktik-praktik mafia tanah, malaministrasi, pembiaran secara sistemik dan terstruktur atas tanah-tanah terlantar, tukar guling kawasan, deforestasi, atau praktek jual-beli tanah, dan operasi illegal tambang. Pada ujungnya, rakyat menjadi korban dari praktek-praktek koruptif tersebut.
KPA menemukan ada 108 kasus diantaranya disebabkan oleh praktik illegal badan usaha, baik swasta maupun negara. Sementara 21 kasus melibatkan praktik mafia tanah dan sisanya sebanyak 23 kasus akibat pembiaran berkepanjangan atas tanah-tanah yang diterlantarkan oleh perusahaan, dan menjadi modus pengusaha untuk mendapatkan modal dari bank dengan cara mengagunkan HGU/HGB ke bank.