Hentikan Penggusuran Wilayah Adat Nanghale!
Penggusuran wilayah adat Nanghale! dilakukan menggunakan ekskavator yang tanpa ampun menghancurkan rumah dan kebun warga.
Rabu, 22 Januari 2025, kembali terjadi kekerasan dan ledakan konflik agraria di Wilayah Adat Nanghale, Sikka. Perusahaan melakukan penggusuran rumah warga dan merusak tanah serta kebun warga, Hingga sore ini, 50 rumah telah dirubuhkan pihak perusahaan.
Penggusuran tersebut dilakukan dengan menggunakan beberapa ekskavator yang tanpa ampun menghancurkan rumah dan kebun warga. Akibatnya sekitar 200 orang terpaksa tinggal di sekitar bekas reruntuhan rumah mereka untuk bermalam.
“Kami mengutuk keras aksi penggusuran yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) di wilayah adat Suku Goban Runut dan Suku Soge Natarmage di Nanghale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur,” demikian pernyataan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), diakses Selasa, 28 Januari 2025.
Koalisi menyatakan, peristiwa biadab ini terjadi di saat tengah berlangsung sidang 8 orang warga di PN Maumere, yang merupakan korban kriminalisasi oleh perusahaan. Kriminalisasi ini terkait konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan yang dimiliki keuskupan tersebut. Sebelum kejadian penggusuran hari ini, upaya penggusuran dan tindak kekerasan telah dilakukan beberapa kali oleh pihak perusahaan.
Aksi sepihak perusahaan adalah bentuk kejahatan agraria dan perampasan tanah rakyat. Patut dicatat, bahwa sejak awal penerbitan pembaruan HGU PT Krisama melalui SK HGU Nomor 01/BPN.53/7/2023 cacat administratif, tidak clear and clean sebab tengah menjadi prioritas penyelesaian, dan telah melanggar konstitusionalitas Masyarakat Adat Nanghale.
“Sehingga tindakan perusahaan menggusur masyarakat merupakan operasi ilegal. Terlebih, wilayah yang diklaim secara sepihak oleh perusahaan tersebut merupakan wilayah adat yang diwariskan dan ditempati secara turun-temurun oleh warga,” kata koalisi.
Tindakan perusahaan yang secara brutal terus melakukan penggusuran di tengah proses persidangan merupakan bentuk arogansi pihak perusahaan. Langkah ini sungguh ironis, sebab perusahaan yang dimiliki oleh Keuskupan Maumere yang seharusnya melindungi masyarakat, dan mengedepakan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah sikap pemerintah, yang seolah tutup mata atas tindakan kejahatan agraria yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Padahal, tidak sekali dua kali pihak perusahaan melakukan aksi sepihak menggusur masyarakat, termasuk tindakan-tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat.
Sebab, penggusuran yang dilakukan oleh kelompok sewaan pihak perusahaan, turut disaksikan oleh perwakilan Pemda Sikka, kepolisian, TNI dan Satpol PP, dengan tanpa ada upaya berarti melakukan pencegahan. Sikap ini menandakan keberpihakan pemerintah dan aparat kepada pihak perusahaan, alih-alih melindungi masyarakat. Patut diduga kuat ada praktek-praktek korup, kolutif dan manipulatif diantara pihak perusahaan dengan pemerintah.
Berkaca dari konflik agraria ini, permasalahan HGU perkebunan di Indonesia sudah saatnya dievalusi secara menyeluruh, sebab HGU-HGU tersebut banyak yang diperoleh dari hasil perampasan tanah masyarakat.
KPA mencatat sepanjang tahun 2024, ada 111 letusan konflik agraria akibat konsesi perkebunan. Parahnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2015-2014), konflik agraria perkebunan selalu menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi di seluruh sektor, dengan total 1.242 letusan konflik agraria. Hal ini mendakan ada masalah fundamental dan akut terkait dengan penerbitan, perpanjangan dan pembaruan HGU di Indonesia.
Atas situasi di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria bersama seluruh organisasi anggota mendesak Presiden, Menteri ATR/BPN RI, Menteri HAM, POLRI, TNI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Gubernur, Bupati dan DPRD, sesuai kewenangannya masing-masing untuk:
Segera menghentikan aksi penggusuran dan tindak kekerasan yang dilakukan PT Krisrama terhadap masyarakat;
Mengusut tuntas dan tangkap pelaku tindak pidana penggusuran dan penganiayaan, serta operasi illegal yang dilakukan PT Krisrama di atas wilayah adat;
Membebaskan 8 orang masyarakat adat Nanghale yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah adatnya, sekaligus lakukan pemulihan nama baik korban;
Membatalkan dan cabut SK pembaruan HGU PT. Kisrama, dan segera lakukan pemulihan hak atas tanah dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria bagi Masyarakat Adat Naghale;
Mendorong pemulihan pasca penggusuran berupa pembangunan rumah kembali dan penggantian kerugian materi dan non-materil, termasuk pemulihan dari rasa trauma khususnya bagi orang tua, perempuan dan anak korban penggusuran, intimidasi dan kekerasan;
Secara umum, jajaran Polri dan TNI di daerah ditarik dari wilayah konflik agraria, baik di Nanghale Sikka maupun di daerah lainnya di NTT, dan segera menghentikan cara-cara represif dan intimidatif kepada rakyat yang sedang membela dan mempertahankan tanahnya, sebaliknya aparat harus memiliki keberpihakan dan penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan sosial bagi rakyat;
Moratorium proses penerbitan, perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB di NTT, lakukan penyelesaian konflik agraria dan pulihkan hak-hak rakat atas tanah dalam bingkai Reforma Agraria sesuai mandat Konstitusi, UUPA 1960, TAP IX/2001 tentang PA-PSDA dan Perpres 62/2023 tentang Reforma Agraria;
Kami juga menyampaikan pesan solidaritas dan dukungan sepenuhnya kepada seluruh Pejuang Agraria dan Masyarakat Adat Suku Goban Runut dan Suku Soge Natarmage atas perjuangannya mempertahankan hak atas tanah dan wilayah adatnya.