Rochimawati : Media, Penting Memberikan Perhatian Pada Isu Perdagangan Karbon
The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) mendorong media di Indonesia untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu penanganan perubahan iklim.
SIEJ melihat dalam kurun waktu lima tahun terakhir isu penanganaan perubahaan iklim terutama perdagangan karbon di Indonesia tidak begitu banyak diangkat. Padahal perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Indonesia memiliki potensi cukup besar dalam perdagangan karbon ini. Terutama setelah memasuki tahap baru sejak diadopsinya Paris Agreement pada The Conference of Parties (COP), dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-21, pada Desember 2015.
Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Rochimawati, mengatakan berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp350 triliun dari transaksi jual beli sertifikat emisi karbon.
“Ini penting mengapa media di Indonesia harus memberikan perhatian lebih terhadap isu perdagangan karbon. Kami berharap media bisa mengarahkan jurnalisnya di lapangan untuk melakukan liputan mendalam terkait isu tersebut," kata Rochimawati.
Data menyebut, total lahan hutan Indonesia mencakup sekitar 94,1 juta hektar menyimpan sekitar 200 ton karbon per hektar. Sedangkan sekitar 22,5 juta hektar lahan gambut di Indonesia juga dapat menyimpan lebih dari 1.000 ton karbon per hektar. Lahan mangrove di Indonesia yang luasnya sekitar 3,31 juta ha berpotensi menyimpan sekitar 227 ton karbon per hektar.
Namun implementasinya hingga kini masih menghadapi berbagai tantangan. Pemerintah belum juga menerbitkan peraturan presiden (Perpres) sebagai landasan hukum perdagangan karbon.
Menurut Rochimawati, secara kelembagaan SIEJ mempunyai komitmen memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu lingkungan termasuk perdagangan karbon di Indonesia. Pihaknya bahkan akan makin intens mendorong dan mengajak media di Indonesia dapat memberikan porsi terhadap isu lingkungan dalam rencana redaksinya.
“SIEJ berharap bisa berperan dalam meningkatkan kesadaran media terhadap isu-isu lingkungan dalam upaya membangun kembali lingkungan dan ekonomi hijau pasca pendemi Covid-19," ujar Rochimawati
Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, mengungkapkan isu pengelolaan hutan di Indonesia kerap dihubungkan dengan wacana perdagangan karbon. Kondisi ini menyebabkan munculnya ketidakadilan, Terutama dalam menggunakan pendekatan nilai untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
“Padahal masyarakat menjaga hutan awalnya agara hutan bisa menjadi sumber kehidupan sekaligus benteng mencegah bencana. Saya pikir ada ketidakadilan pada hal ini karena berbeda dengan negara yang menjaga hutan untuk urusan karbon," kata Yuyun dalam diskusi Editor Meeting bertemakan “Tantangan Perdagangan Karbon di Indonesia", Sabtu (29/5), yang berlangsung secara virtual.
Sementara itu, M. Shofwan, Pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bujang Raba, Jambi mengaku pengelolaaan hutan berbasis masyarakat merupakan pendekatan yang ideal dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Cara ini bahkan bisa mendorong kesejahetaraan masyarakat dan meminimalisir permasalahan.
“Perdagangan karbon itu salah satu bonus saja. Tetapi manfaat besar dari pengelolaaan hutan itu adalah lingkungan tetap terjaga. Bencana bisa dikurangi dan ekonomi masyarakat tumbuh dengan memanfaatkan potensi hutan. Dari pemanfaatkan sumber air untuk pembangkit hingga wisata," ujar Shofwan.
Narahubung :
Budhy Nurgianto (b.nurgianto@gmail.com)