Menjaga Sekeping Surga di Timur Indonesia, Padang Lamun Raja Ampat Terancam Rusak
Rusaknya lamun, atau tanaman khas laut dangkal, di perairan Raja Ampat memperbesar risiko lenyapnya ekosistem ikan serta kemungkinan terjadinya bencana alam. Bagaimana para pemangku kepentingan berupaya mencegah hal itu?
Abdul Saman Rumadaul, pertengahan Juli lalu, dikejutkan oleh fenomena pasang surut laut mencapai sekitar 200 meter dari bibir pantai Kampung Waigama, Distrik Misool Utara, Raja Ampat, Papua Barat. Waktu surut pun tak normal. Biasanya, air surut hanya berlangsung hingga siang hari, tapi saat itu masanya lebih panjang, hingga sore hari. Abdul mengatakan baru sekali itu terjadi selama puluhan tahun tinggal di Waigama.
“Pasangnya panjang. Ini jarang terjadi," kata Abdul kepada Suara.com, Senin 2 Agustus 2021.
Abdul tak diam, ia mengabarkan peristiwa tersebut kepada rekan-rekannya. Nelayan di wilayah Kepulauan Raja Ampat ini juga mengabarkan fenomena tersebut kepada pemerintah. Namun, hingga saat ini, belum diketahui apa penyebab pasang surut laut tersebut. “Ini ada keanehan. Surutnya panjang, padahal pasangnya tidak panjang," kata Abdul.
Fenomena alam lain yang dialami Abdul terjadi pada Oktober 2020. Saat, air laut memanas kala dirinya sedang memancing ikan. Akibat pemanasan air, terumbu karang diselimuti bercak putih. Pemanasan air laut itu juga berdampak pada padang lamun. Tidak sedikit lamun mengapung di laut.
Lamun, juga dikenal dengan sebutan seagrass, adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan tumbuh di bawah permukaan laut dangkal. Ia berbeda dengan rumput laut (seaweed).
“Karena terlalu panas, padang lamun muncul di atas permukaan laut. Itu sering terjadi. Kami juga menemukan lamun hanyut dan mati karena air memanas," kata dia.
Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional atau National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), Amerika Serikat, sempat memperingatkan Indonesia akan adanya kenaikan suhu permukaan air laut berkisar 2-3 derajat Celsius di wilayah Raja Ampat, Papua Barat, pada 20 Oktober 2020.
Berdasarkan pengukuran berbasis citra satelit, NOAA menyebutkan adanya pemutihan terumbu karang. Estimasi pemanasan air laut tersebut diperkirakan terjadi dalam kurun waktu 7 hari. Akibatnya, fase pemutihan terumbu terjadi dalam kurun waktu empat bulan lamanya. Setelah itu, diperkirakan terumbu karang mati.
Tapi di Raja Ampat, selain disebabkan pemanasan suhu permukaan laut, kerusakan lamun juga terjadi karena ulah manusia.
Abdul menduga, penggunaan bom oleh sejumlah nelayan jadi penyebab ekosistem lamun dan terumbu karang hancur. Saban melaut, dia masih sering menemukan sisa-sisa penggunaan bom di perairan Raja Ampat.
“Masih ada yang melakukan. Masyarakat takut. Mau dicegah, repot," ujarnya.
Nelayan setempat, Amir Wighel, mengatakan masyarakat menggunakan bom karena minim pengetahuan dalam mencari ikan. Karena itu, Amir yang juga anggota konservasi pesisir warga Kampung Waigama, berulang kali mengajak masyarakat patroli bersama untuk mencegah penggunaan bom ikan.
“Setelah kami sering patroli dan dua kali melakukan penangkapan, akhirnya berkurang drastis," kata Amir kepada Suara.com.
Setelah gencar berpatroli, gangguan terhadap ekosistem lamun mengalami penurunan. Nelayan yang bergabung dalam konservasi pesisir mulai merasa lega, apalagi padang lamun menjadi sumber pangan bagi habitat laut yang dilindungi, seperti dugong dan penyu.
Pentingnya perlindungan lamun juga mendorong pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Beleid tersebut menetapkan perusak lamun bisa dijerat hukum pidana.
Menurut Amir, kurangnya kesadartahuan masyarakat soal peran padang lamun, turut merusak kawasan lamun di Raja Ampat.
Selain itu, ancaman terhadap lamun di perairan Kepulauan Raja Ampat tetap ada, seperti penggunaan bom ikan, penggunaan kawat di dasar laut untuk memancing ikan, pembangunan dermaga pelabuhan, hingga perilaku nelayan yang sembarangan menyandarkan kapalnya seusai melaut.
“Kami cek situasi, memang hancur lamunnya," kata Amir.
Sulit dapat ikan
Bagi Amir dan Abdul, keberadaan lamun begitu penting untuk keberlangsungan hidup mereka. Sebabnya ada tiga. Pertama, lamun merupakan tempat berkumpul sekaligus bertelurnya ikan. Tanpa lamun, ikan di perairan Raja Ampat sulit didapat.
Kedua, lamun menjadi habitat makan dan hidup penyu serta dugong. Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature-IUCN) sudah memasukkan kedua spesies itu ke dalam Appendix I CITES. Itu artinya, kedua spesies tersebut masuk kategori hewan yang terancam punah.
Alasan terakhir, ketiga, lamun dapat meredam arus gelombang. Hal itu, kata Abdul membantu warga pinggir pantai tidak terdampak parah saat terjadi bencana alam.
“Kita punya lamun harus jaga, habitat lain juga sama," kata Abdul.
Simak laporan Erick Tanjung dan Abdus Somad selengkapnya di website ekuatorial.com
Banner Image : Tanaman lamun di perairan Raja Ampat, Kampung Waigama, Distrik Misool Utara, Papua Barat. Foto : Rivaldo Patty /FFI