x

Cagar Budaya Muarajambi Tak Berdaya Dikepung Batu Bara

Peninggalan kejayaan peradaban kuno di Cagar Budaya Muarajambi di Jambi makin terancam oleh stockpile industri tambang batu bara.

Berada di tepi aliran Sungai Batanghari–sungai terpanjang di Sumatera yang melewati Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, banyak tinggalan peradaban tua masih tersisa. Bangunan candi-candi di Muaro Jambi itu tersebar dari barat ke timur sepanjang 7,5 kilometer mengikuti aliran Batanghari.

Arsitektur purba berupa candi-candi terpendam berabad-abad silam. Sebagian reruntuhan bangunan telah dipugar dan dibuka untuk wisatawan. Sementara masih ada puluhan gundukan tanah yang di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno.

Keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi pertama kali diketahui dari laporan S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris dalam sebuah lawatannya ke Hindia Timur pada 1820. Crooke mendapat laporan dari warga sekitar yang menemukan struktur bangunan candi dan benda-benda purbakala.

Dalam buku Muaro Jambi Dulu, Sekarang, dan Esok yang diterbitkan Balai Arkeologi Sumatera Selatan (2009:30) dijelaskan, satuan ruang geografis Kawasan Percandian Muarajambi merupakan tinggalan kebudayaan klasik masa Sriwijaya dan Melayu Kuno.

Kawasan tersebut juga menjadi pusat pendidikan agama Buddha abad VII-XIII, yang terluas di Indonesia dan Asia Tenggara. Dahulu pada tahun 671 Masehi, seorang pengelana asal Tiongkok I-Tsing, atau Yi Jing, mencatat, ribuan biksu dari Thailand, India, Srilanka, Tibet, Cina, datang ke Muarajambi untuk memperdalam ilmu sebelum ke Nalanda (saat ini kawasan Bihar di India).

Peradaban Muarajambi ratusan abad silam memang sudah kesohor. Dalam sejarahnya, sebagaimana ditulis Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja), Maha Guru Buddha Atisa Dipamkara Shrijnana pernah tinggal dan belajar di Candi Muarajambi, Sumatera, selama 12 tahun lamanya, atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.

Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti. 

Selama menghabiskan waktunya di Muarajambi, Atisa belajar kepada gurunya, Serlingpa Dharmakirti, tentang Boddhi Citta (batin pencerahan) yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih. 

“Atisa Dipamkara Shrijnana membawa pengaruh yang sangat besar dalam sejarah keagamaan di Tibet dan dunia pada umumnya. Ini merupakan salah satu ajaran universal Budhadharma yang paling berpengaruh di dunia hingga saat ini," tulis Sudimuja.

Di Kawasan Percandian Muarajambi itu tersebar 82 reruntuhan bangunan kuno atau yang disebut menapo. Saat ini beberapa bangunan telah dipugar, seperti Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Tinggi I, Candi Kedaton, dan Candi Teluk I.

Seiring berputarnya waktu, melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No: 259/M/2013, Kawasan Percandian Muarajambi telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dengan satu ruang geografis mencapai 3.981 hektare.

Cagar Budaya Muarajambi mencakup tujuh wilayah desa di Kabupaten Muaro Jambi. Ketujuh desa tersebut adalah Desa Dusun Baru, Danau Lamo, Muara Jambi, Kemingking Luar, dan Kemingking Dalam, serta Desa Teluk Jambu dan Dusun Mudo.

Selain bangunan komplek percandian, di kawasan itu juga terdapat sisa peradaban berupa kolam kuno, danau. Kemudian ada jaringan kanal kuno, yang pada masa lalu digunakan sebagai jalur transportasi menghubung bangunan candi. Jaringan kanal kuno itu juga terhubung dengan sungai-sungai alam yang bermuara ke Sungai Batanghari.

Kini di tengah menyisakan kejayaan peradaban masa lampau, situs Percandian Muarajambi yang menyandang predikat Cagar Budaya Nasional itu sudah lama terancam oleh aktivitas industri.

“Tapi pemerintah kita tidak pernah mau melihat kondisi Kawasan Cagar Budaya Muarajambi ke lapangan," kata Mukhtar Hadi, Aktivis Pelestari Cagar Budaya Muarajambi kepada Liputan6.com di Desa Muara Jambi, Jumat 27 Agustus 2021.

Bangunan candi yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau masih terkepung alat berat, pabrik, dan industri stockpile batu bara. Kawasan Cagar Budaya yang berada di sisi selatan Desa Muara Jambi itu seakan tak berdaya menghadapi stockpile batu bara sejak satu dekade terakhir. 

Stockpile adalah tempat penumpukan batu bara. Batu bara di stockpile itu didatangkan dari sejumlah daerah di Jambi, kemudian diangkut kapal tongkang lewat jalur perairan Sungai Batanghari. Tahun 2010, ekspansi stockpile batu bara semakin tak terbendung.

Begitu pula sejak 2011, Borju–begitu sapaan akrab Mukhtar Hadi–mulai menolak keras keberadaan stockpile batu bara yang berada di seberang desanya. Suara-suara penolakan terus digaungkan dengan lantang, baik itu lewat puisi ataupun kampanye dan aksi. 

Simak laporan Gresi Plasmanto selengkapnya di website Ekuatorial.com

https://www.ekuatorial.com/2021/09/cagar-budaya-muarajambi-tak-berdaya-dikepung-batu-bara/

Banner Image : Keberadaan Candi Teluk I di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi berdekatan dengan stockpile Batu Bara. Foto : Glesi Plasmanto / Liputan6.com

Share