Cerita dari Svarnadwipa #1 : Kayu-Kayu Glondongan dari Siberut
Kapal cepat “Mentawai Fast" yang saya tumpangi berlayar melambat. Terompet kapal dibunyikan. Tanda sesaat lagi akan berlabuh di Dermaga Pokai, Muara Sikabaluan, Siberut Utara.
Dari kursi tempat saya duduk dengan pemandangan laut lepas, nampak kejauhan dermaga yang berada di tengah hutan mangrove yang rapat. Cuaca cerah, udara sejernih laut Selat Mentawai.
Penumpang kapal di pertengahan Juli 2020 lalu, tak begitu banyak. Saat pandemi aturan perjalanan memang diperketat. Selain jumlah penumpang dibatasi, juga wajib membawa hasil rapid-test.
Ini perjalanan kedua menuju Pulau Siberut untuk melanjutkan peliputan program Pulitzer Center dan Rainforest Journalism Fund yang Saya terima awal Januari 2020. Perjalanan pertama, di Bulan Maret ke Kawasan Taman Nasional Siberut. Bahkan Saya sempat tinggal di perkampungan masyarakat di Simatalu, pantai barat yang berada di kawasan taman nasional.
Pulau Siberut bersama rangkaian pulau lainnya di Kepulauan Mentawai mempunyai sejarah geologis unik. Pulau yang terpisah hampir satu juta tahun lalu dengan Pulau Sumatera ini memiliki flora-fauna yang terpelihara dari perubahan evolusi dinamis. Keanekaragaman hayati dianggap mirip dengan Pulau Galapagos dimana Charles Darwin menemukan teori evolusinya.
Di Siberut masih banyak spesies endemik. Seperti empat primata endemik, yaitu Bokkoi (Macaca siberu), Joja atau Lutung Mentawai (Presbytis potenziani siberu), Bilou (Hylobates klosii), dan Simakobu (Nasalis concolor siberu).
Tercatat sekitar 65 persen dari 31 spesies hewan dan 15 persen dari 896 spesies tumbuhan endemik. Dunia mengakui keunikannya hingga Siberut ditetapkan sebagan Cagar Biosfer melalui program Man and Biosfer, manusia dan lingkungan pada tahun 1981.

**
Turun dari kapal, Saya segera mencari Bambang Sagurung, wartawan Mentawai Kita.com. Di dermaga, kolega Saya di Siberut ini nampak melambaikan tangan memberi tanda kehadirannya. Dan segera mengajak ke rumahnya di Tamairang.
Kami merencanakan perjalanan ke Tiniti. Sebuah kampung kecil yang berada di tepi pantai barat, Siberut Barat yang menjadi lokasi logpon atau tempat penimbunan kayu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) milik PT Sakali Suma Sejahtera. Kayu-kayu ini ditimbun sebelum dibawa dengan kapal.
Saya ingin memotret kayu-kayu log itu. “Kalau cuaca cerah, besok bisa langsung ke Tiniti, tapi tidak bisa terlalu berharap, sekarang ini sering hujan kalau siang," kata Bambang di berada rumahnya.
Perjalanan dengan sepeda motor akan menyulitkan jika hujan menerjang. Sungai Tarekan tidak akan bisa diseberangi karena tidak ada jembatan penghubung. Bahkan kami harus berangkat minimal empat orang agar bisa membantu mengangkat sepeda motor saat menyeberangi sungai.
Di hari ketiga, cuaca benar-benar cerah. Saya, Bambang, Ores dan Barnabas, mantan Kepala Desa Malancan baru bisa berangkat menuju Tiniti dengan mengendarai tiga sepeda motor. Kami melintasi Jalan Trans Mentawai yang baru diperkeras dengan tanah. Bekas hujan membuat jalan licin dan sepeda motor sering terperosok.
Tapi yang paling berat saat menyeberangi Sungai Tarekan. Perlu waktu dua jam untuk membawa dua sepeda motor terperosok di kubangan lumpur dan melewati sungai yang alirannya cukup deras.
**


Kami tiba di Kampung Tiniti siang hari. Di tepi pantai, kami melihat dengan jelas tumpukan kayu-kayu gelondongan berukuran besar dari pohon Meranti (Shorea spp) dan Kruing (Dipterocarpus sp). Masing-masing panjangnya 10 meter. Menumpuk dalam gunungan yang tinggi. Bahkan ada kayu glondongan berdiameter satu meter.
Kayu-kayu ini siap dibawa ke kapal yang menunggu di tengah laut. Saya memotret dengan sembunyi-sembunyi. Tak ingin mengambil risiko karena larangan memotret oleh pekerja perusahaan seperti yang pernah dialami Bambang sebelumnya.
Ya, Pulau Siberut sedang terancam. Hutan di pulau terbesar di Kepulauan Mentawai yang dijuluki sebagai Galapagos Asia ini dieksploitasi sejak sejak 1971 dengan terbitnya izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada enam perusahan besar untuk penebangan kayu di Kepulauan Mentawai. Empat diantaranya ada di Pulau Siberut.
Eksploitasi hutan Siberut sempat terhenti pada 1993. Namun, di tahun 2001, pemerintah memberi izin HPH kepada Universitas Andalas (berhenti beroperasi tahun 2007). Menyusul kemudian izin untuk PT Salaki Summa Sejahtera pada 2004 hingga kini.
Pulau Siberut semakin terancam ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan izin Hutan Tanaman Industri untuk PT. Biomass Andalan Energi seluas 19.876 hektare di akhir 2018. Dari dokumen laporan rencana kerja, PT Salaki Suma Sejahtera ini rata-rata menebang 8 ribu pohon setiap tahun.
Saya menjadi ngeri membayangkan betapa banyaknya pohon tempat habitat primata itu dihabisi. “Muatan kapal ponton itu bisa empat ribu hingga delapan ribu kubik kayu bulat untuk dibawa ke Surabaya," jelas Barnabas saat kami makan siang dibawah pohon tak jauh dari logpon.
Barnabas kemudian banyak bercerita tentang kondisi hutan di Siberut. Termasuk ketika tahun 2018 hutan di lahan sukunya di Malancan ternyata juga masuk dalam rencana kerja tahunan perusahaan kayu. Tetapi, pemilik lahan menolak. Alasannya, perusahaan kayu hanya membayar Rp37 ribu per-kubik. Selisihnya sangat besar, dengan harga kayu meranti di toko bangunan di Sikabaluan yang mencapai Rp1,7 juta per-kubik.
“Hutan milik suku kami di Malancan masih utuh, hutan primer, belum pernah dibuka, sekarang hanya kami yang punya hutan seperti itu," kata Barnabas.
**
Ancaman itu makin nyata diceritakan Sabariah, warga Dusun Tarekan Hulu yang saya temui di tepi hutan dalam perjalanan pulang menuju Sikabaluan.
Ia menuturkan, pada Mei dua bulan sebelumnya Sungai Tarekan meluap dan mengakibatkan ladangnya terendam. Tanaman pisang, keladi, cabai, ubi kayu, dan sayuran untuk sumber pangan, rusak akibat diterjang banjir.
Banyak kayu gelondong besar bekas tebangan perusahaan HPH yang hanyut dari hulu Sungai Tarekan yang menghancurkan pohon pisang dan tanamannya. Banjir baru surut setelah dua hari. Seluruh hamparan kebunnya tertutup lumpur tebal sehingga tidak bisa ditanami.
“Sampai sekarang tanahnya masih lunak, tidak bisa ditanami. Itu sangat menyusahkan hidup saya. Makan terpaksa apa adanya," ungkap Sabariah sambil membelah dahan kayu untuk kayu bakar.
Eksploitasi hutan sangat menguntungkan pengusaha kayu, memiskinkan warga lokal dan kehancuran lingkungan.**
Penulis : Febrianti, Jurnalis Tempo. Anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists SIEJ Simpul Sumatera Barat.
Banner Image : Febrianti, Ores dan Bambang Sagurung di lokasi logpon HPH di Pantai Tiniti. Dokumentasi pribadi Febrianti
Hasil liputan project “Save Siberut" bisa dibaca di link: https://rainforestjournalismfund.org/projects/saving-siberut-island
