Peladang Dayak Beradaptasi dengan Krisis Iklim, Butuh Inovasi agar Bertahan
Peladang di Kalimantan Barat, berupaya beradaptasi dengan perubahan iklim yang ikut mengubah masa tanam serta hasil panen yang didapat. Inovasi coba dicari dan dilakukan.
Adriana Kumon, 47 tahun, bersama puluhan wanita di Dusun Melayang, Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat dalam sebulan ini sibuk pergi ke ladang. Di sana mereka menyiangi lahan secara bergotong royong. Luas lahan yang disiangi satu hingga dua hektare.
Suara Kumon terdengar gusar saat membagi cerita soal kegiatan berladangnya belakangan ini. Sejak 2018, penghasilan dari berladang menurun drastis. Biasanya dalam sekali panen mendapat 2 ton padi. “Itu dulu, sekarang susah," ucap Adriana Kumon kepada Liputan6.com.
Sebelum 2018, Kumon berbagi, sehektare ladang bisa menghasilkan 25 ton padi kering. “1 ton padi saja udah untung sekarang. Diserang hama." Dia bilang, perubahan cuaca yang terjadi di kampungnya menyebabkan masa tanam dan panen padi bergeser.
“Seharusnya awal bulan September memulai tanam," ucapnya mengingat perubahan cuaca dari panas lalu hujan secara tiba-tiba.
Pergeseran masa tanam juga diakui Damianus Nadu, 61 tahun, Tetua Hutan Adat Dayak Pikul, Melayang. Berladang sudah menjadi bagian dari kehidupannya. “Berladang bagi kami menjaga kearifan lokal. Mengapa? Karena dari kecil saya diajarkan menanam padi di gunung oleh bapak saya," ucap Nadu.
Padi pulut, saga, merah, sumat, pelawang, makasoy, mabah, panyanggung, urut, maju, labuh, berua, pelao sangking, buan, itulah berbagai jenis padi yang ditanam di sana. Namun beberapa waktu belakangan masa menanam padi di tempatnya mundur ke awal Oktober.
“Belale dalam bahasa Dayak kami yang artinya gotong royong ibu-ibu," imbuh Damianus sembari menambahkan belale itu beranggotakan 20 ibu-ibu.
Hasil panennya lumayan. Sawah seluas 9 hektare bisa menghasilkan 18 ton padi. Semuanya disimpan di lumbung. Tahun 2018 perubahan iklim terasa menggerogoti produksi. Namun penyimpanan hasil panen di lumbung masih mencukupi buat kebutuhan setahun.
Masyarakat adat Dayak di sana tidak pernah membeli beras. Selain ke ladang, warga juga merawat pohon tengkawang dan karet. Belale sudah ke ladang sejak pagi hingga pukul empat sore. Dalam tujuh bulan mereka baru bisa menuai panen dari ladang.
“Alam menyediakan semuanya. Maka, kami sepakat di sini menjaga alam yang lestari," kata Damianus Nadu.
Di tempat lain, tepatnya Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Sapiah, 60 tahun menuturkan penurunan panen akibat serangan hama. Dari satu hektare dia mendapatkan hasil 10 karung beras. Setiap karung bobotnya mencapai 50 kilogram.
“Saya tak tahu jenis hama menyerang ladang padi," tuturnya saat menanam padi jenis langsat.
Sejak kecil, Sapiah dan Satimah, saudara kandungnya sudah akrab dengan kegiatan berladang. Beda dengan kebiasaan muda mudi jaman sekarang yang sulit diajak ke ladang. “Bapak dan ibu saya dulu selalu ajak kami berladang," tuturnya.
Pengalaman itu membuat Sapiah selalu mengingatkan anak-anaknya untuk belajar menanam padi di ladang. Peladang senior lainnya, Alim, 70 tahun menyatakan, keluarganya harus terus meladang untuk memastikan keberlanjutan hidupnya. “Tidak berladang, tidak makan," seloroh pria yang menggantungkan hidupnya dari lahan seluas dua hektare ini.
Masa berladang, ungkap Alim, biasanya mulai pada Juli. Namun saat ini mundur ke awal Oktober. “Kena banjir ini lahannya bulan kemarin," kata Alim.
Soal panen, Alim mengingat betul masa-masa panen dari lahan seluas dua hektare bisa mencapai 50 karung. Namun sejak 2018 lalu, produksinya menurun drastis. “Ini dua hektare, (hasilnya) 10 karung," ujarnya.
Simak liputan Aceng Mukaram selengkapnya di https://www.ekuatorial.com/
Banner image : Sapiah (50 tahun), wanita peladang dari Desa Desa Sungai Enau, memperlihatkan benih padi yang akan ditanam. Foto : Aceng Mukaram/Liputan6.com