x

Pasca-COP26: Komitmen Indonesia Atasi Krisis Iklim Melalui Perdagangan Karbon

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menyelenggarakan kegiatan Editor Meeting dengan tema Pasca-COP26: Komitmen Indonesia atasi krisis iklim melalui perdagangan karbon, pada Sabtu (27/11/2021).

Kegiatan seri ke-3 yang berlangsung virtual ini merupakan ruang temu para editor dari berbagai media di Indonesia dengan narasumber di bidang lingkungan mulai dari pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga akademisi sebagai upaya untuk mendorong peran media dalam menyuarakan isu perubahan iklim setelah perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi PBB terkait Perubahan Iklim, COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Dalam pertemuan COP26 lalu, beberapa negara yang sudah meratifikasi (Paris Agreement) sepakat memulai mengadopsi Artikel 6 Persetujuan Paris yang membahas tentang pembiayaan untuk implementasi mitigasi perubahan iklim, terutama melalui mekanisme pasar dan nonpasar.

Kuki Soejachmoen, Co-Founder & Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) dalam pemaparannya mengatakan, beberapa hal menarik dari hasil kesepakatan COP26 di Glasgow terkait Artikel 6 Pasal 6.2 Persetujuan Paris, diantaranya, persoalan definisi dan satuan unit untuk transfer kredit karbon.

Dari awal, hal ini tidak terdefinisikan dengan jelas, sehingga mudah untuk diinterpretasikan berdasarkan pendapat pihak masing-masing.

“Persoalan tersebut mempertanyakan terkait unit satuan transfer kredit karbon antar negara apakah hanya dalam unit satuan GRK? Akhirnya diputuskan bahwa kerjasama transfer ini boleh dilakukan tidak hanya dalam unit gas rumah kaca, tetapi juga boleh dilakukan dalam bentuk lainnya seperti kerjasama export-import listrik (kwH)", kata Kuki.

Artikel 6 Persetujuan Paris tersebut juga membuka peluang kerjasama internasional dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Indonesia direncanakan akan menerima pendanaan iklim dari negara-negara maju diantaranya dari Asian Development Bank (Rp 356,4 triliun), Climate Incentive Fund (Rp 35,6 triliun), dan Inggris (Rp 6,8 triliun). Sehingga perlu ada implementasi hasil yang dilakukan secara transparan agar indikator keberhasilannya dapat terukur secara kualitatif maupun kuantitatif.

Pada kesempatan sama, Peneliti Gambut Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso mengatakan, penurunan emisi dan penyediaan dana untuk mengatasi perubahan iklim adalah dua sisi koin yang harus dimainkan para pelobi industri atau swasta yang memengaruhi proses negosiasi.

Mekanisme pendanaan yang dituangkan dalam Artikel 6 Persetujuan Paris yang telah disepakati akan memberikan peluang kepada negara berkembang untuk memperdagangkan kredit karbon dari proyek-proyek penurunan emisi. Meskipun nantinya mereka juga akan dibayang-bayangi  target penurunan emisi domestiknya.

Pertemuan COP26 di Glasgow juga sempat membahas terkait upaya pengendalian iklim melalui sektor kelautan.

Melihat hal ini, Indonesia sebagai salah satu negara dengan wilayah mangrove terbesar menyimpan potensi mitigasi perubahan iklim melalui pemanfaatan inisiatif blue carbon, yang juga tertuang dalam Updated Nationally Determined Contribution (NDC).

Daniel mengatakan bahwa blue carbon merupakan ekosistem yang menyimpan begitu banyak karbon, dimana di dalamnya termasuk mangrove dan lamun.

“Kita punya banyak sekali mangrove dan terbesar di dunia begitu juga seagrass. Riset kami meringkas bahwa ekosistem ini menyimpan 3-5 kali karbon dari ekosistem hutan primer di daratan. Kita bisa mengatasi sea level rise dan gain karbon pada saat yang bersamaan dengan memanfaatkan blue carbon. Ini peluang besar untuk mendorong laju penurunan emisi global", kata Daniel.

Lebih lanjut Daniel berharap, media dapat membantu memberikan informasi dan mencerahkan masyarakat terkait isu-isu lingkungan, terutama yang berdasarkan data saintifik.

Pada editor meeting kali ini, Ketua Umum SIEJ Rochimawati turut menyampaikan paparannya yang fokus pada peran media dalam mendorong isu perubahan iklim yang menjadi ancaman global.

Rochimawati yang juga berkesempatan menghadiri pertemuan COP26 lalu, sebagai penerima fellowship terpilih dari Internews menjelaskan bahwa media berperan dan  memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan pemahaman kepada publik dalam mengawal komitmen pemerintah pasca-COP26.

“Penting sekali untuk terus menggaungkan isu-isu lingkungan oleh rekan-rekan media sebagai pihak yang konsisten mengedukasi dan memberikan informasi kepada publik, terutama dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dimengerti", ujar Rochimawati.

SIEJ berharap melalui kegiatan Editor Meeting ini, media lokal maupun nasional terus memiliki semangat untuk mengawal komitmen mitigasi perubahan iklim setelah  pertemuan internasional tersebut. (*)

Narahubung :

Rochimawati (ochi.april@gmail.com)

Ketua Umum SIEJ

Share