Menjaring Investor Hijau Lewat Bursa Karbon
ICDX bersiap menggelar bursa karbon dalam waktu dekat. Dengan infrastruktur pasar yang terorganisir, perseroan berharap dapat membuat kredit karbon di Indonesia lebih kompetitif sekaligus membantu pemerintah mencapai target penurunan emisi.
Ada beragam cara untuk berpartisipasi dalam mencegah perubahan iklim. Jika Anda seorang investor, cara baru yang bisa dicoba adalah masuk ke pasar karbon. Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX), satu dari dua bursa berjangka di Indonesia, berencana menggelar perdagangan karbon dalam waktu dekat.
Dengan membeli beberapa unit kredit karbon, Anda secara tidak langsung akan mendorong lebih banyak pihak untuk bergerak dalam konservasi hutan, lahan gambut, serta kawasan mangrove. Sebab, transaksi yang Anda lakukan bakal mengerek harganya. Dan bagi para produsen, tingginya harga adalah insentif untuk menghasilkan lebih banyak proyek kredit karbon.
Tentu, Anda juga bisa untung dari perdagangan karbon jika terjadi kenaikan harga. Ini lantaran harga kredit karbon—yang satuannya setara dengan penurunan emisi satu ton karbondioksida (CO2e)—cukup fluktuatif dan bergantung pada dinamika kebijakan penanganan perubahan iklim di berbagai negara.
Secara sederhana, kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam tiap kegiatan industrinya.
Ia bisa berasal dari proyek-proyek hijau—berupa konservasi atau restorasi kawasan hutan, lahan gambut, atau mangrove—yang kemampuan penyerapan karbonnya dihitung dan dikonversi menjadi sebuah sertifikat kredit karbon oleh lembaga verifikasi seperti Verra. Atau, dapat juga berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.
Indonesia sendiri telah menjadikan perdagangan karbon sebagai salah satu instrumen dalam meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim. Terlebih, potensi kredit karbon yang bisa dihasilkan cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, totalnya bisa mencapai 113,18 gigaton CO2e.
Ini berasal dari 125,9 juta hektare hutan hujan tropis yang dapat menyerap 25,18 miliar ton CO2e, 7,5 juta hektare lahan gambut dengan estimasi serapan 55 miliar ton CO2e, serta 3,31 juta hektare lahan mangrove yang bisa menyerap 33 miliar ton CO2e.
Sejak dimulai pada 2005, perdagangan karbon di Indonesia telah berkembang melalui berbagai upaya dan model pembiayaan berbasis mekanisme pasar. Namun, hingga saat ini, pasar kredit karbon melalui bursa berjangka belum terselenggara. Padahal, Indonesia memiliki bursa dengan infrastruktur yang mapan dan siap untuk melakukannya.
Dalam wawancara dengan Fortune Indonesia (29/9), Board of Director ICDX Megain Widjaja mengatakan, ekosistem yang terintegrasi antara trading, penjaminan, settlement, sampai pembiayaan di perusahaannya dapat membuat kredit karbon di Indonesia lebih kompetitif dan lebih mudah dipasarkan secara global.
“Kami sudah siap sarana (dan) prasarananya. Mulai dari trading, mekanisme penjaminan, mekanisme penyelesaian. Itu semua sudah siap, dan tinggal dijalankan," ujar cucu mendiang Eka Tjipta Widjaja, pendiri Sinar Mas Group itu.
Selama ini, tutur Megain, penyelenggaraan perdagangan karbon lewat bursa berjangka terhambat oleh ketiadaan payung hukumnya, yakni Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Namun, pada 29 Oktober 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan bahwa aturan itu telah ditandatangani sehari sebelum kepala negara menuju Roma untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G20.
Beleid itu kelak akan menyelaraskan perdagangan karbon, baik di pasar sukarela (voluntary market) maupun wajib (mandatory market), dengan peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon 834 juta ton CO2e dengan upaya sendiri dan 1.081 juta ton CO2e dengan bantuan internasional hingga 2030.
Simak laporan Hendra Friana selengkapnya di https://www.ekuatorial.com/