x

Menilik Ulang Satu Dasawarsa Cagar Biosfer Wakatobi

Pemboman ikan dan penambangan pasir pantai semakin memperparah kerusakan ekosistem laut di Cagar Biosfer Wakatobi, dan berdampak buruk pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir setempat.

“Sekarang sudah banyak bom. Semakin hari, semakin jauh dari pesisir. Kalau sore hari terdengar suara bom dua atau tiga kali," ungkap Adianto (43), Ketua Forum Nelayan Poasa Asa, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Berbicara pada pertengahan Juni 2021, Adianto yang berasal dari Desa Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi,  mengatakan bahwa dalam menjalankan aksinya, para pembom ikan memanfaatkan kondisi air laut yang surut sejauh ratusan meter.

Situasi ini menyulitkan anggota Poasa Asa dalam mengejar para pembom ikan karena perahu yang mereka gunakan seringkali kandas di hamparan pasir dan padang lamun yang kering.  

Selain permasalahan pemboman ikan, Poasa Asa juga harus menghadapi maraknya penambangan pasir di pesisir pantai. Hasil pantauan Forum Nelayan Poasa Asa pada akhir Juni 2021, praktek penambangan pasir ilegal masih dilakukan di berbagai titik.

Sementara, di bawah teriknya matahari di siang hari, La Pane (47) sibuk  memanen rumput laut dari perahunya di dermaga yang berjarak puluhan meter dari Tugu Cagar Biosfer Wakatobi yang didirikan untuk memperingati dijadikannya Taman Nasional Wakatobi sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO pada 2012 lalu.

Satu persatu rumput laut yang rusak dipisahkannya dari rumput laut yang sehat. Petani rumput laut dari Desa Liya Togo itu  mengeluhkan aktivitas penambangan pasir di pesisir yang merusak rumput laut di area selat yang teduh tempat ia membudidayakan tumbuhan rumput laut.

“Agar-agar ini kena kotoran. Penyakit lengket," keluh La Pane sambil memperlihatkan rumput laut yang rusak total akibat terkena penyakit. 

Penambangan pasir merusak padang lamun

Adiguna Rahmat Nugraha, peneliti kelautan Universitas Trunojoyo Madura,  dalam  penelitian nya yang berjudul Penambangan Pasir Laut dan Ancaman Terhadap Kondisi Taman Nasional Laut Wakatobi di tahun 2017, mengatakan bahwa penambangan pasir berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem padang lamun.

Produksi rumput laut di daerah penambangan pasir ini juga menurun lantaran banyak rumput laut tertutup endapan lumpur.

Sementara  Yani Taufiq, peneliti dari Universitas Halu Oleo di Kendari, mengatakan ahwa aktivitas penambangan pasir pantai menimbulkan abrasi pada pesisir Pantai Sombano. Abrasi  merubah  garis pantai, merusak vegetasi pantai dan merusak tanggul. 

Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi yang berjudul Dampak Pengelolaan Pasir Terhadap Abrasi Pantai di Desa Sombano, Kecamatan Kaledupa, terbitan April 2020, Yani mengatakan bahwa penambangan pasir mengakibatkan sedimentasi pasir di laut dangkal.

Desa Sombano yang sebelumnya memiliki garis pantai seluas 4,7 Ha pada tahun 2012, mengalami penyusutan menjadi 1,1382 Ha di tahun 2019.

Sepanjang pesisir pantai banyak ditemukan pohon, termasuk pohon kelapa, yang tumbang dan terseret ke bibir pantai. 

Disisi lain, jumlah penduduk yang terus meningkat di tengah lesunya perekonomian, menyebabkan sebagian kecil masyarakat pesisir tidak memiliki pilihan lain selain mengeksploitasi pasir sebagai mata pencaharian utama.

Hudiyanto (33), merupakan salah seorang warga Desa Sombano yang sangat tidak setuju dengan aktivitas penambangan pasir yang dilakukan penduduk setempat dan warga dari desa lain. Menurutnya, pengambilan pasir secara berlebihan  telah menyebabkan abrasi dan garis pantai kini telah mencapai  perumahan warga yang tinggal di pesisir.

“Dua tahun terakhir ini yang parah. Penambangan pasir dilakukan siang, sore dan malam," ungkap Hudianto.

Terkait penambangan pasir di kawasan Cagar Biosfer Wakatobi, pihak pengelola Taman Nasional Wakatobi mengakui bahwa memang  masyarakat diberi ruang untuk melakukan penambangan pasir secara tradisional di area jalur masuk kapal.

Namun penambangan pasir tidak diperbolehkan menggunakan mesin penambangan pasir dengan kapasitas besar.

Pernyataan itu sesuai dengan dokumen yang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah setempat, yaitu Surat Edaran Bupati Wakatobi tahun 2014 yang mengatur Penggunaan Pasir Kali Yang Didatangkan (Non Lokal) Untuk Kebutuhan Proyek Pemerintah dan Pengendalian Penggunaan Pasir Pantai (Lokal) Untuk Kebutuhan Masyarakat/Swasta.

“Pemanfaatan alur pelayaran adalah solusi jangka pendek, sambil mencari solusi untuk kepentingan kedua pihak tetap berjalan," ujar Darman selaku Kepala Balai TN Wakatobi.

Darman juga mengaku pihaknya kesulitan melakukan pengawasan hingga ke pulau-pulau terluar Wakatobi.  Kabupaten Wakatobi sendiri merupakan kabupaten kepulauan dengan 142 pulau  yang tersebar di kawasan seluas 823 kilometer persegi. Sementara Taman Nasional Wakatobi mencakup 25 gugusan terumbu karang  sepanjang 600 kilometer.

Fasilitas transportasi laut  untuk pengawasan milik Balai Taman Nasional Wakatobi yang jumlahnya sangat terbatas tersebar di beberapa pulau, dan cuaca seringkali kurang bersahabat untuk memungkinkin mereka beroperasi.

“Kita dipengaruhi cuaca yang kadang ekstrim. Kecuali ada laporan dari masyarakat," pungkas Darman.

Simak laporan Riza Salman selengkapnya di website https://www.ekuatorial.com/

https://www.ekuatorial.com/2021/10/menilik-ulang-satu-dasawarsa-cagar-biosfer-wakatobi/

Banner Image : Laporan sumber kondisi keanekaragaman sumberdaya penting perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Wakatobi

Share