x

Di Balik Parade Mobil Listrik di KTT G20

Foto: Dok. Arsip Biro Pers Sekretariat Presiden

SIEJ – Pembicaraan kendaraan listrik semakin ramai belakangan ini. Terutama, semenjak Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai kendaraan dinas operasional pejabat. Inpres yang dikeluarkan pada September lalu memerintahkan pejabat mulai dari level menteri, BUMN, hingga kepala daerah kabupaten/kota dan BUMD, untuk melakukan percepatan pelaksanaan mobil listrik berbasis baterai. Para pejabat diminta menyusun regulasi serta mengalokasikan anggaran untuk pengadaannya. Inpres juga meminta konversi kendaraan berbahan bakar fosil ke basis electrik segera dilaksanakan.

Pembahasan mobil listrik tak terhindar dari kontroversi. Apalagi kewajiban mengganti mobil operasional ke mobil listrik berlaku juga untuk kepala daerah kabupaten/kota. Bayangkan jumlah anggaran yang tidak kecil digelontorkan kepala daerah di saat harga mobil listrik masih sangat mahal.

Terbitnya inpres tak lepas dari momentum Indonesia saat ini menjadi presidensi G20 tahun 2022. Pemerintah pasti melandaskan kebijakan tersebut sebagai afirmasi komitmennya menurunkan emisi di sektor energi dan transportasi. Pemerintah ingin menunjukkan keseriusannya menyongsong transisi energi.

Namun implementasi di lapangan terutama di daerah patut dipertanyakan. Seberapa mulus kebijakan ini akan berjalan. Terbitnya inpres otomatis pemerintah daerah akan mengalihkan pos anggaran prioritas ke program mobil listrik. Memang sudah ada daerah yang membuka tender pengadaan. Meskipun demikian, animonya belum terasa signifikan.

Sekalipun sifatnya mandatori, tak semua kepala daerah menyanggupi perintah Inpres. Tak usah jauh-jauh, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka secara tegas menyatakan menghapus pos anggaran mobil listrik karena menurutnya saat ini bukanlah prioritas. Pengadaan mobil listrik membutuhkan anggaran yang tidak kecil, sehingga Gibran membatalkan rencana pembelian mobil listrik untuk tahun depan, “dan siap menerima sanksi," tegasnya.

Sebelum aksi Gibran menolak mengganti kendaraan dinas ke mobil listrik, kesiapan Indonesia bermigrasi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik, sudah ramai dibahas bahkan jauh sebelum inpres diterbitkan. Antara lain, terkait regulasi yang akan mendukung ekosistem mobil listrik dari hulu ke hilir. Harga mobil dan komponen baterai yang masih sangat mahal, diitambah ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di bawah pengelolaan PT PLN, belum memadai.

Begitupun kebijakan konversi sepeda motor ke sistem baterai juga belum membumi. Kesiapan bengkel atau industri komponen konversi, membutuhkan payung regulasi yang jelas, termasuk kemudahan serta insentif untuk menstimulus industri ini.

Kendaraan listrik diyakini adalah moda transportasi masa depan. Perubahan iklim saat ini telah nyata menimbulkan berbagai dampak krisis. Salah satu penyumbang emisi karbon terbesar bersumber dari sektor transportasi berbahan bakar fosil. Kendaraan listrik salah satu opsi untuk mengurangi dampak emisi dan polusi udara.

Di sisi lain, pengembangan kendaraan listrik juga dilematis. Pasalnya, energi listrik masih akan dipasok dari sumber pembangkit PLTU batubara. Para pegiat lingkungan tidak begitu yakin dengan komitmen pemerintah betul-betul menciptakan ekosistem kendaraan listrik ramah lingkungan. Sebut saja mendorong secara massif listrik dari energi terbarukan sebagai sumber pengisian daya listrik pada mobil berbasis baterai tersebut. Sementara di saat bersamaan, wacana pensiun dini pembangkit listrik dari batubara masih tarik ulur.

Selain itu, pengembangan kendaraan listrik juga telah merangsang industri ektraktif nikel menggeliat. Ia akan menjadi “primadona" baru di sektor tambang. Seperti akan terbentang karpet merah bagi pengusaha tambang. Ini tentu akan diikuti tambang komponen baterai lainnya. Belajar dari banyak kasus, industri tambang tak terlepas dari berbagai konflik, sengketa atau penyerobotan lahan, hingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Fakta ini banyak terjadi di pertambangan batubara. Sulit menghindar kekawatiran berbagai pihak bahwa praktek eksploitasi nikel tak akan berbeda dengan batubara. Menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang akan sama persis.

Baterai juga akan menjadi problem baru. Layaknya baterai penyimpan energi, barang ini juga punya batas masa pemakaian. Lalu pertanyaannya, bagaimana limbah baterai ini akan dikelola? Pasalnya, limbah elektronik tak kalah bahaya dibanding limbah kimia lainnya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang meliputi dilema pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Puncak Konferensi Tingkat Tinggi G20 mulai berlangsung hari ini, 15-16 November di Bali. Sejumlah pertemuan sebelum KTT di jalur keuangan dan jalur sherpa sudah berlangsung. Konferensi Tingkat Tinggi ke-17 akan menjadi pertemuan para kepala negara, menutup sejumlah pertemuan di tingkat menteri, kelompok kerja, hingga engagement group selama setahun presidensi Indonesia.

Perhelatan KTT G20 juga diramaikan dengan parade kendaraan listrik. Pemilihan kendaraan listrik untuk iring-iringan kepala delegasi, bermaksud menunjukkan komitmen Indonesia untuk beralih ke penggunaan energi baru terbarukan. Secara total, Indonesia menyediakan 836 mobil listrik untuk VVIP dan delegasi yang merupakan hasil kerja sama dengan sejumlah perusahaan otomotif.

Setelah ini mari kita tunggu. Seyogyanya G20 yang mengusung salah satu agenda transisi energi, akan mengikat komitmen negara anggota untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Penurunan emisi dan meningkatkan adaptasi serta mitigasi. Apakah mobil listrik ditempatkan sebagai salah satu solusi iklim yang komprehensif menuju ramah lingkungan. Atau sebaliknya, menunggangi momentum dan mengakomodir kepentingan segelintir.

Share