SIEJ — Hingga Agustus 2022, realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) baru mencapai 12,6 persen. Hal itu diungkap oleh Wakil Presiden Eksekutif Bidang Teknik dan Perencanaan EBT PLN, Cita Dewi dalam Parallel Event G20: Energy Transition Project Facilitation Day akhir Agustus lalu.
Indonesia mematok target bauran 25 persen hingga tahun 2025. Target ini untuk mengejar capaian net-zero emission atau bebas emisi pada 2060. Ambisi untuk memenuhi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca seperti yang tertaung dalam Paris Agreement.
Untuk menuju ke sana kata Cita Dewi, pemerintah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 40,6 gigawatt (GW). Dari penambahan tersebut, porsi EBT ditetapkan 51,6 persen dan fosil 48,4 persen.
“Porsi 51,6% listrik EBT PLN itu, 10,4 GW berasal dari tenaga hidro dan 3,4 GW dari pembangkit panas bumi. Kemudian ada 4,7 GW dari pembangkit solar fotovoltaik dan 2,5 GW dari sumber EBT lainnya,” katanya.
Porsi 51,6 persen EBT dari total tambahan kapasitas sebesar 40,6 GW artinya kurang lebih sekitar 21 persen. Juga belum progresif untuk mencapai nol emisi pada 2060. Padahal potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia sebesar 437,4 GW. Enam sumber EBT yang melimpah di Indonesia, yakni gelombang laut, panas bumi, bioenergi, angin, air dan panas matahari.
Kenapa pengembangan EBT begitu melambat?
Salah satu faktornya, iklim investasi energi terbarukan di Indonesia kurang kondisif bagi pengusaha/swasta. Ditambah komitmen politik yang tidak konsisten. Dalam acara IMEF implementasi KEN dan RUEN 2020 – 2025, Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform, pernah mengurai sejumlah tantangan yang dihadapi oleh EBT. Di antaranya kepercayaan investor swasta rendah, karena EBT dinilai tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan energi fosil. Terlebih Biaya untuk merawat fasilitas EBT yang tergolong mahal dan hanya tersektoral di PLN. Ini berisiko pada pengembalian proyek energi terbarukan. Nilai Return of Investment (RoI)-nya rendah.
Beberapa solusi juga ditawarkan, antara lain adanya regulasi yang dapat menggairahkan investasi EBT ini. Tentu APBN harus mampu mendorong investasi swasta. Selain itu, adanya stuktur insentif dari PLN khususkan EBT.
Belum sepenuh hatinya negara pada investasi EBT juga tercermin dari sejumlah “kemewahan” yang diberikan negara pada industri energi fosil. Founder sekaligus Executive Director Yayasan Cerah, Adhityani Putri, mengatakan subsidi pembagkit energi kotor batubara berlangsung dari hulu hingga hilir. Bentuk subsidinya, mulai dari subsidi di pembangkit listriknya dalam bentuk tarif, sampai dengan subsidi infrastruktur.
“Dari penambangan batubaranya sampai dengan transportasi. Sampai dengan dia menjadi listrik,” kata Adhityani dalam diskusi daring, Jurnalis dan Anak Muda Bunyikan Aksi Iklim, yang diselenggarakan Yayasan Cerah dan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) pada 20 Agustus.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan itu, Adhityani membeberkan, begitu banyak insentif dan subsidi yang diberikan untuk bisnis energi kotor. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga batubara acuan yang meningkat. Tentu yang menikmati kenaikan komoditas ini adalah pengusaha batubara.
(dikutip dari berbagai sumber)