x

Teguh Surya: Presiden Jokowi Tidak Peduli Instruksinya Sendiri Soal Sawit

JAKARTA -- Dua tahun Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang ditandatangani oleh Joko Widodo ternyata belum menampakkan hasil. Saat ini tidak diketahui berapa pastinya jumlah izin dan luasan sawit yang di-review pemerintah. Padahal keterbukaan akses informasi data tersebut dapat menjadi basis pencegahan korupsi dan kerusakan lingkungan.

Tidak jelasnya arturan itu membuat tata kelola perkebunan sawit kacau. Sebanyak 18 Gubernur sampai bersikap. Mereka meminta agar ada skema pengubahan bisnis industri sawit. Hal itu diminta lantaran tidak ada keuntungan yang didapat pemerintah daerah dengan adanya perkebunan sawit.

Selain itu, pemerintah daerah masih meraba-raba dalam menempuh kebijakan moratorium sawit. Sebabnya, tidak ada petunjuk teknis yang dibuat sampai saat ini untuk memudahkan kepala daerah menjalankan moratorium. Instruksi ini seperti dibiarkan mengambang, akibatnya kepala daerah gamang.

Koalisi masyarakat sipil melihat instruksi yang ditandatangani September 2018 ini menjadi sesuatu yang tidak serius dalam menjalankan moratorium. The Society of Indonesia Enviromental Journalism (SIEJ) mewawancarai Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya untuk mengetahui perkembangan dua tahun moratorium sawit di Indonesia. Simak hasil wawancara kami berikut ini:

Sudah 2 tahun Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit diberlakukan, bagaimana perkembangan dalam pengamatan Anda?

Ini bukan kabar gembira, sebab kurang dari 10 persen capaian inpres tersebut. Persoalannya, pertama hampir tidak ada progres perkembangan terbaru; kedua, informasi yang diketahui publik sebatas keberhasilan pemerintah menerbitkan surat tutupan sawit, itu pun tidak bisa diakses. Meski Surat Keputusannya dapat diperoleh, namun peta izin dan tutupan tidak bisa.

Sebanyak 18 Gubernur meminta pemerintah pusat mengubah tata kelola bisnis industri sawit, kenapa mereka meminta hal tersebut?

Pertama, tidak ada yang pasti berapa luas izin dan luas tutupan sawit. Hal ini ternyata berimplikasi besar. Dari hal tersebut daerah tidak bisa menghitung investasi, kedua tidak dapat mengukur bencana lingkungan dan konflik, ketiga banyak petani yang tidak mendapatkan perlindungan dari sisi bisnis sawit. Padahal kita tahu Riau dan Kalimantan Barat banyak petani mengusahakan lahannya untuk perkebunan sawit, tapi tidak jelas duduk perkara status lahannya, apakah berizin atau tidak.

Lalu kebijakan perkebunan sawit terlalu banyak dan membingungkan semacam sengkarut kebijakan di sektor sawit, skema perizinannya saja berubah-berubah.

Apakah Anda melihat moratorium gagal?

Bahasa pemerintahnya keterlanjuran, di akhir 2018 presiden memberikan instruksi untuk melakukan review izin melalui inpres. Jadi harus tunda izin baru lalu review. Tujuannya baik mengetahui luas dan izin sawit, berapa yang ilegal dan dimiliki oleh siapa saja. Ketika data tersebut terkumpul bisa direncanakan langkah penyelesaian salah satunya di kawasan hutan. Itu bisa selesai kalau data perizinannya terkonsolidasi.

Itu yang menjadi agenda besar dari inpres ini, makanya di awal itu disebutkan ada empat sasaran. Paling utama terkait penundaan izin, kalau tidak maka tidak mungkin mengubah tata kelola-setelah itu baru masuk tahap peningkatan produktivitas dan penguatan lembaga petani. Hal tersebut tidak akan tercapai kalau tidak ada penataan izin. Dampaknya bisnis kacau sementara sawit tetap akan berproduksi karena pasarnya ada. Pasalnya, kepentingan nasional tidak diuntungkan, sementara korporasi akan terus untung.

Apakah ada perbedaan pemberian izin sebelum dan setelah moratorium?

Tentu ada, beberapa tahun terakhir penerbitan izin baru tidak semasif dekade sebelumnya. Kami sembari mendesak keterbukaan data dan informasi oleh pemerintah, kami cukup aktif melakukan konsolidasi data. Kita tidak bisa menunggu, kita kerja sama dengan petani dan banyak pihak untuk konsolidasi data.

Dalam pantauan kami Per 2019 setidaknya total luas dan izin sawit 31,1 juta hektar. Sebanyak 11,9 juta hektar izin sawit belum ditanam. Angka tersebut 92 persen merupakan milik perusahaan. Kemudian sebanyak 10,7 juta hektar tutupan sawit yang berizin, 8,4 juta hektar tutupan sawit tak berizin. Ada sawitnya tapi tidak berizin. Ini justru bermasalah.

Kalau melihat pola tanamnya dari luasan 8,4 juta hektar itu, terbagi menjadi beberapa perusahaan. Sebanyak 1,4 juta hektar milik perusahaan, 4,3 juta hektar tidak diketahui, 2,5 juta hektar smallholder, 400 hektar sawit muda.

Melihat hal tersebut, kami mendesak pemerintah terbuka dengan data. ini penting bagi pemerintah serta kita semua. Dengan adanya satu rujukan maka kita mudah menghitung penerimaan negara, cegah kerusakan lingkungan, mencegah korupsi, tanpa hal tersebut sepertinya akan susah.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah pusat agar tegas menjalankan moratorium sawit?

Kalau inpres berjalan, maka komitmen mandatori sawit berkelanjutan jalan. Sebab ini kaitannya produktivitas. Kita ada persoalan besar dengan negara tetangga, kita boleh bangga di dunia bahwa luas sawit Indonesia terbesar, tapi tidak punya posisi tawar. Sementara Malaysia yang luasnya lebih kecil dari kita tapi produktivitasnya luar biasa. Pada 2019, Malaysia produksi empat ton per hektar, sementara kita 2,5-3 ton per hektar.

Belum lagi gesekan dengan daerah berkaitan dengan pembagian keuntungan. Dari sisi apa pun, seperti kelompok usaha-investasi maupun aturan negara tidak akan memberikan keuntungan kepada daerah kecuali diubah. Kami melakukan kajian di dua provinsi, Kalbar dan Riau. Dua daerah ini memiliki izin dan tutupan sawit yang cukup luas.

Dari pengamatan kami, pengelolaannya kacau. Kalbar pada 2019 kita melihat desa-desa bersawit masih banyak yang berstatus tertinggal ada 43 persen, kalau di Riau ada 27 persen desa yang tertinggal. Ini kan miris, sawit boleh luas tapi keuntungan tidak di dapat. Kalau bicara masalah banyak sangat banyak.

Selain itu kita juga menelisik dalam dua tahun ini. Ternyata intensitas bencana lingkungan dengan kebun sawit ada kaitannya. Kami menemukan ada relasi kuat penambahan luasan yang mendukung intensitas bencana lingkungan termasuk kerawanan pangan.

Hal itu juga menjadi alasan Gubernur meminta tata kelola sawit diubah?

Iya, pada Januari lalu kan kita tahu bahwa sebanyak 18 Gubernur meminta dana bagi hasil (DBH) sawit. Ini sebenarnya puncak persoalan. Ilusinya kan sawit digadang-gadang menguntungkan setelah bisnis migas. Tapi daerah tidak mendapatkan hasil, makanya mereka bereaksi. Kami coba untuk baca dokumen dan pelajari. Ternyata memang DBH sawit timpang.

Sayangnya presiden tidak cukup percaya diri dengan inpres yang dibuat. Hal itu dibuktikan selama dua tahun ini tidak ada protes atau evaluasi inpres. Sementara kalau isu lain, Presiden marah-marah pada saat rapat terbatas, sementara di sawit ini tidak cukup serius.

Kita bisa katakan inpres ini jalannya terseok-seok sementara presiden adem ayem. Pertanyaan kami, apa benar kita memperbaiki sawit?

Apa saja hambatan sehingga jalannya terseok-seok?

Persisnya kita enggak tahu, tapi secara umum kementerian dan lembaga tidak satu suara. Ada kebingungan menjalankan tanggung jawab. Kami melihat banyak lembaga tidak solid. Kedua, presiden tidak ada leadership, jadi jalan atau tidak, tidak ada yang peduli selain masyarakat dan organisasi sipil.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta kebijakan moratorium sawit ini dibuat satu peta, kenapa meminta hal tersebut?

Agar memudahkan langkah koordinasi. Sebenarnya dalam inpres sudah jelas tata caranya, mekanismenya sudah tergambar. Kami koalisi masyarakat sipil ingin menegaskan kita tidak punya kemewahan waktu untuk main-main, makanya kita desak ada peta jalan. Lebih jauh kami ingin menegaskan inpres ini bisa dilaksanakan secara sistematis.

Bicara soal bencana ekologis, adakah yang terjadi selama moratorium?

Moratorium ini langkah awal, dampaknya bisa dilihat jangka panjang. Jadi tidak serta merta ketika moratorium maka akan ada bencana ekologi. Moratorium ini kan jeda untuk tarik napas. Dalam kajian kami di provinsi Riau dan Kalbar, kami melihat kejadian tertentu seperti longsor, banjir, kebakaran itu berhubungan erat atau ada relasinya dengan wilayah yang memiliki tutupan sawit luas.

Melihat kompleksnya persoalan jalanya moratorium, apa yang harus dilakukan pemerintah agar lebih tegas menjalankan inpres tersebut?

Pertama, presiden harus menegakkan instruksinya. Karena gagal atau berhasilnya pelaksanaan instruksi ini akan berdampak pada karier presiden. Kedua, ini kan sisa satu tahun lagi, kita punya pekerjaan rumah besar. Keberhasilan moratorium ini adalah keberhasilan nasional sementara kalau gagal inpres akan tercatat sejarah.

Di waktu yang tersisa ini, harus ada plan B untuk menjaga kalau satu tahun ini belum bisa mencapai 50 persen dari inpres. Salah satunya perpanjang inpresnya atau diperkuat kebijakannya. Misalnya menjalankan amanat Undang-Undang Perkebunan Nomor 29 Tahun 2014.

Di dalamnya mengamanatkan untuk membentuk rencana perkebunan baik nasional, provinsi dan daerah. Tujuannya sebagai pedoman dan pengendalian tata kelola perkebunan nasional. Sejauh ini kita belum pernah menetapkan rencana tersebut. Harusnya ujung moratorium sawit adalah adanya rencana perkebunan.

Terakhir, harus dipastikan tidak ada lagi pembukaan hutan alam untuk perkebunan sawit. Baik dalam konsesi maupun di luar, baik di dalam hutan atau di luar. Itu jurus pamungkas pada semua kebijakan gagal.

Share