x

Melki Nahar: Kriminalisasi Tersebab Target Elektrifikasi Kendaraan Setrum

Pemerintah mulai menggeliatkan pembangunan kendaraan listrik di Indonesia. Keseriusan itu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Aturan ini menjadi lantas memberikan jalan bagi sejumlah perusahaan untuk bisa dapat mendorong elektrifikasi kendaraan listrik di Indonesia.

Namun, bukan tanpa dampak kendati dianggap kendaraan yang ramah lingkungan. Dari hulur, luasan lahan di Sulawesi dan Maluku dikeruk untuk memenuhi ambisi produksi baterai listrik untuk menjalankan kendaraan listrik. Bisa dikatakan baterai adalah jantungnya kendaraan listrik. 

Tidak sedikit kerusakan yang dimunculkan karena aktivitas pertambangan hingga produksi baterai listrik. Mulai dari pencemaran laut, polusi udara di area konsesi lahan tambang, hingga kesehatan. Dampak lainnya adalah hilangnya ruang hidup warga yang bertahan hidup dari alam. Mereka yang mencoba melawan tambang dikriminalisasi. Untuk mengetahui bagaimana produksi kendaraan listrik berproses, The Society of Indonesiaan Journalist Environmental (SIEJ) melakukan wawancara dengan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melki Nahar selama satu jam. 

Indonesia saat ini ingin mendorong penggunaan mobil listrik. Bagaimana menurut Anda dengan adanya pembangunan kendaraan listrik di Indonesia?

Jadi upaya pemerintah untuk mendorong elektrifikasi kendaraan listrik yang sebelumnya bergantung pada bahan bakar fosil lalu dibumbui dengan narasi ini sebagai upaya pemerintah mengatasi krisis iklim, mengurangi ketergantungan energi fosil sebetulnya realitasnya tidak seperti itu. Yang terjadi murni bisnis seperti urusan batubara dan mineral lainnya di Indonesia.

Indonesia itu menjadi salah satu negara dengan komoditas nikel terbesar. Lebih dari 30 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Kami melihat ini murni bisnis tidak ada kaitan pembangunan yang rendah karbon.

Keseriusan itu ditunjukkan dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Bagaimana tanggapan Anda mengenai hal itu?

Ini memprioritaskan pejabat dinas untuk menggunakan kendaraan listrik dengan skema penggunaan anggaran daerah dan anggaran pusat. Ini yang diuntungkan adalah pemilik bisnis yang memiliki urusan nikel dan kendaraan bisnis ini. Ini juga diatur Inpres lebih dari 10 lembaga di pusat dan daerah dengan skema pendanaan APBN atau APBD.

Sebelum peraturan presiden itu jauh sebelum itu sudah ada revisi UU Minerba dan Omnibus Law yang banyak pasal di dalamnya memberikan keistimewaan pada industri tambang. Setelah kedua undang itu disahkan yang menguntungkan pelaku bisnis.

Spesifik nikel dan kendaraan listrik dimulai diatur sejak presiden Jokowi dengan menekan peraturan presiden. Kalau dicek di perpres ini pemerintah mengatur fiskal dan nonfiskal, perpres ini juga bicara teknologi industri ada banyak hal diatur, setelahnya ada banyak regulasi yang dikeluarkan yang justru menguntungkan pelaku industri dari hulu ke hilir. Dari regulasinya disiapkan serius tapi tidak mempertimbangkan warga.

Sisi lain elit politik di negeri yang sudah terlibat dalam kendaraan listrik ini. Banyak pejabat publik sudah terlibat dalam bisnis tambang dan kendaraan listrik. Bagi kami ini clear alih-alih mengatasi krisis iklim yang terjadi terjadi sebaliknya. Kami tekankan ini murni bisnis sehingga kami tak heran laju perluasan nikel semakin meluas karena ada kepentingan.  

Apa dampak yang dimunculkan dengan adanya produksi kendaraan listrik bagi Indonesia?

Dampak dari pelaku bisnis sangat menguntungkan kalau dicek road map pemerintah target pemerintah target 2030 ribuan unit sementara sepeda motor 2,4 juta unit. Klaim mereka dapat menurunkan emisi karbon dioksida sebanyak 2,7 juta ton kendaraan mobil. Target produksi seperti itu seluruh kebijakan dan regulasinya dikunci dari awal supaya memastikan pelaku bisnis bisa lebih leluasa dalam mengembangkan bisnisnya di Indonesia.

Sementara bagi warga ceritanya lain. Tambang itu membutuhkan lahan skala besar dan butuh air. Ketika terjadi alih fungsi lahan akan berdampak besar pada pasokan pangan dari warga. Ini semacam pemiskinan sistematis. Ruang produksi warga yang penting tiba-tiba diambil alih dan dilenyapkan akibat ekstraksi nikel untuk elektrifikasi kendaraan listrik.

Pemerintah tidak pernah melihat dampak ekstraksi nikel yang seluruhnya merusak dan mencabut ruang hidup warga.

Pemerintah menyampaikan kendaraan listrik jalan untuk bisa mengurangi penggunaan energi fosil. Hal itu juga dianggap ramah terhadap lingkungan. Bagaimana tanggapan Anda?

Apa yang menjadi alasan sampai tidak lebih dari urusan bisnis. Pertama kami melihat seluruh ekstraksi nikel di Indonesia bukan tanpa resiko. Jadi seluruh rantai prosesnya mempunyai daya rusak. Bisa terkait alih fungsi lahan, pencemaran mata air, udara, sampai risiko terhadap urusan Kesehatan warga. Paling mendasar ruang produksi warga yang terdampak.

Kalau dilihat di balik operasi nikel dan proses hilirnya melalui kendaraan listrik, prosesnya merusak. Sehingga klaim kendaraan listrik rendah emisi sebetulnya ketika dikomparasikan daya rusaknya lebih besar. Sehingga tidak punya pengaruh signifikan atasi krisis iklim dengan menurunkan emisi karena seluruh prosesnya dari tambang sampai deforestasi memiliki pengaruh negatif dalam mengatasi krisis iklim.

Kedua, klaim bahwa ini atasi mengurangi ketergantungan kendaraan bahan bakar fosil tidak terlalu tepat. Karena yang dilihat yang paling dibutuhkan saat ini pembenahan transportasi publik.

Salah satu yang menjadi lokasi pertambangan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai mobil listrik ada di wilayah Sulawesi dan Maluku. Bisa diceritakan bagaimana kondisi di wilayah tersebut saat ini?

Kalau dicek lapangan saya ambil contoh yang besar di Morowali. Di sana Kawasan industri. Ada banyak perusahaan yang sudah membangun smelter dengan beragam jenis baterai. Kalau kejahatannya itu sangat luar biasa. Saya ambil contoh di Mandopi, sejak perusahaan di sana beroperasi telah muncul bencana banjir bandang di Sulawesi Tengah. Sampai ada dua orang yang meninggal, ratusan fasilitas rumah rusak pada Juni 2019. Bencana banjir itu karena di kawasan hulu dibongkar habis-habisan.

Selain itu aktivitas perusahaan telah mencemarkan air laut. Sudah sering air laut terjadi berwarna kecoklatan. Ini dikeluhkan nelayan tapi enggak ada respons. Nelayan juga yang notabene yang menjadi pencarian perikanan tangkap jadi anjlok. Tidak banyak dapat ikan. Mereka juga terpaksa melaut lebih jauh. Air laut sudah tercemar.

Bulan lalu, kami menemukan ikan yang ditangkap sering mati. Pembuangan air dari turbin perusahaan dibuang ke laut. Ada juga rencana membuka limbah tailing ke laut dalam Morowali. Mereka sudah mengurus izin permohonan pembuangan limbah tailing di kementerian. Padahal Morowali itu lautnya dikenal sebagai laut yang memiliki sumber daya laut yang melimpah. Semua berpotensi hancur dan lenyap karena aktivitas perusahaan yang membangun smelter dan menambang nikel.

Dari aspek kesehatan ternyata ada banyak penderita ISPA pada 2020 sudah ribuan, penderita TBC 291 orang. Kami menghitung Januari-Juni 2020 total lebih 26 ribu yang menderita penyakit ISPA dan TBC. Data ini tidak pernah dibuka ke publik. Padahal itu merupakan data perusahaan.

Kriminalisasi juga meningkat ada enam orang yang dikriminalisasi karena melawan perusahaan. Jadi sedahsyat itu dampaknya.

Produksi kendaraan listrik juga membutuhkan komponen bahan baku selain nikel. Apakah JATAM telah mengidentifikasi apa saja yang dibutuhkan? Lalu apa dampak yang akan muncul dari penggunaan bahan baku cadangan atau sumber daya alam lain untuk menunjang produksi mobil listrik?

Bahan baku tidak hanya urusan nikel saja. Tapi ada juga kobal, mangan yang notabene membikin daerah lain terancam. Nusa Tenggara Timur yang punya mangan sudah ada perusahaan masuk di Pulau Timor. Salah satu proyeksinya adalah elektrifikasi kendaraan listrik. Jadi ini semacam peluang bisnis baru.

Proyeksi ke depan akan lebih banyak penunjang baterai kendaraan listrik. Bisa dibayangkan suplai energi butuh batubara jadi kerusakannya ada di Kalimantan dan Sumatera. Ada pembukaan lahan terus menerus. Saya kira semua berisiko. Resikonya ini bisa terkait langsung dengan industri nikelnya sendiri.

Menurut Anda, bagaimana dampak limbah produksi kendaraan listrik?

Kami belum melakukan riset. Tapi hal itu menarik ditelusuri.

Menurut Anda sejauh mana kendaraan listrik ini dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia?

Seberapa banyak yang mampu membeli kendaraan listrik di Indonesia? Yang berkepentingan kan negara maju. Kalau cek tren kendaraan listrik dunia pada 2012 ada ratusan kendaraan listrik di dunia. Pada 2021 jumlah menjadi 6,6 juta kendaraan listrik di jalanan.

Masyarakat tidak membutuhkan kendaraan listrik, tidak dibutuhkan di tempat lokasi penambangan nikel. Paling membutuhkan adalah kelompok atas yang seolah punya banyak uang. Tidak semua kendaraan listrik untuk keperluan pribadi yang dibutuhkan tapi transportasi publik.

Share