x

Albertus Prabu S. M. Siagian: Merealokasi Subsidi Energi Kotor ke Pengembangan EBT

Sejumlah pihak pesimis dalam waktu tiga tahun kita mampu mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dapat dikejar. Apalagi banyak negara termasuk Indonesia, perlahan-lahan bangkit dari keterpurukan akibat Pandemi Covid19. Menurut Analis Ekonomi dari Climate Policy Initiative (CPI) Albertus Prabu S. M. Siagian, ini transisi yang cukup luar biasa. Dimana kemampuan fiskal Indonesia sangat diuji. Banyak uang digelontorkan untuk pemulihan. Kalau dibandingkan rata-rata global sudah di atas 20%. Berarti Indonesia juga masih di bawah rata-rata global. Berikut wawancara tim SIEJ dengan Albertus Prabu S. M. Siagian, Kamis 1 September 2022.

Bagaimana pandangan Anda tentang pengembangan EBT di Indonesia?

Belum optimal, dalam arti pemerintah punya target bauran produksi dari EBT kan 23% pada 2025. Kalau sekarang kan baru belasan persen. Masih lebih rendah dari 23%. Dan saya nggak yakin dalam waktu tiga tahun itu bisa dikejar. Apalagi satu kita baru saja mengalami pandemi Covid19, ini transisi yang cukup luar biasa. 

Mengapa sulit sekali mewujudkan transisi energi?

Beralih ke EBT itu suatu hal yang behavior, melibatkan perilaku. Itu sama aja kayak gini, kita itu makan sayur karena disuruh atau kitanya yang mau. Kalau kita disuruh pasti nggak sustainable. Pasti suatu saat ada keinginan balik lagi untuk makan daging. Tapi kalau emang kitanya yang mau, pasti kita akan terus makan sayur. 

Sama, beralih ke EBT, itu karena sudah dicanangkan saja, atau karena emang secara struktur ekonomi kita berpikir, beralih ke EBT itu lebih menguntungkan. Jadi ini bukan masalah harus, tapi masalah mau. Selama ini kita memposisikan beralih ke EBT itu normatif. EBT itu dianggap belum jadi prioritas utama, kecuali EBT itu lebih murah, lebih profitable, itu lebih masuk ke orang.

Apa saja bottle neck dalam pengembangan EBT di Indonesia?

Bottle neck nya itu suplai and demand. Kita bikin pembangkit EBT, listriknya untuk dikonsumsi berarti kan kita bikin pembangkit EBT yang konsumsinya gede. Dimana? Di Jawa dan Bali. Tapi di Jawa dan Bali potensi EBT rendah. Tapi populasi dan ekonomi 60% ada di Jawa Bali. Ini miss match.

Kedua di jawa-bali itu kebetulan PLN over capacity. Itu artinya, nggak butuh lagi pembangkit baru. Sekarang malah PLN ingin penduduk Jawa-Bali konsumsi listriknya banyak lagi, supaya listriknya laku. Jadi ini soal suplai and demand.

Sekarang kalau PLT EBT harus dibangun di luar jawa. Masalahnya di luar jawa sudah populasinya sedikit, dan tersebar. Coba kita sudah buat PLT EBT gede, tapi yang tinggal di situ paling beberapa kampung, orangnya dikit.

Bottle neck lainnya untuk beralih ke EBT, adalah masalah labour. SDM kita harus knowledgeable. Terus manufaktur komponennya. Kesiapan transmisi dan distribusi. Kebanyakan PLT EBT ada di remote area. Berarti harus disambung dari sana ke konsumen untuk mengaliri listrik. Ada nggak sambungan listriknya. Lalu ada masalah biaya, mahal. Teknologi masih mahal dan lokasinya juga dalam, duit pemerintah ada nggak? 

Bisa melibatkan swasta?

Iya, berarti melibatkan swasta. Tetapi apakah ada insentif buat swasata untuk masuk ke EBT. Jadi ini bottle necknya. Jadi EBT bukan hanya persolaan lingkungan saja, tapi keuangan.

Bukannya persoalan itu semua adalah political will pemerintah? Karena ada kecenderungan mendiskriminasi investasi di EBT dan terlalu memanjakan bisnis energi kotor?

Itu karena fosil fuel lebih profitable dibandingkan EBT. Sudah kadung banyak labour kerja di situ, sudah kadung banyak modal ditaruk di situ. Nggak bisa langsung ditinggalkan begitu saja. Itu yang menghidupi banyak orang. Sebenarnya political will seperti itu, mau nggak mau.

Pengeluaran anggaran subsidi untuk energi fosil seperti BBM kemudian listrik dari PLTU itu cukup besar. Selama ini angkanya puluhan triliun. Bagaimana menurut Anda?

Subsidi energi kotor memang besar. Itu membebani APBN. Kalau itu dikurangi perlahan terus direalokasi untuk energi bersih, itu baik adanya. Lalu kalau kita mengurangi subsidi kotor pelan-pelan, itu akan membuat harga BBM dan listrik itu perlahan merangkak naik dan itu akan membuat orang, menghemat BBM dan listrik. Dan mulai beralih ke hal yang hijau. Karena seiring berjalan, yang hijau itu sudah mulai tidak mahal lagi.  Perlu ada peralihan subsidi perlahan dari energi kotor ke energi bersih.

Berarti merealokasi subsidi kotor ke subsidi bersih?

Tapi ada persoalan sebenarnya soal subsidi. Harusnya subsidi itu bukan yang disubsidi produknya. Tapi orangnya. Jadi uang itu bukan dikasih supaya harga produk murah, tapi dikasih ke orang miskinnya langsung. Itu lebih tepat sasaran. Karena bagaimana memastikan produk yang disubsidi itu, akan dibeli sama orang yang tidak mampu. 

Banyak para pejabat punya kaitan dengan bisnis energi kotor. Apakah ini juga ikut menghambat pengembangan EBT? 

Karena energi fosil fuel itu memang profitable. Tapi meamng akhirnya membuat transisi ke EBT itu agak smooth karena mereka jadi punya kepentinga untuk menjaga bisnis mereka tetap kekal. Kalau menurut saya harus ada transparansi. Ini perusahaan, siapa saja pemegang sahamnya, direksinya siapa saja, dia ada afiliasi ke poltiik atau nggak, harusnya sampai itu. Sehingga orang bisa tahu, di belakang ini itu, si ini anu. Transparansi itu harus sampai ke situ, apakah dia punya poltical link. Karena itu juga yang membuat orang wondering, apakah ketika saya berkompetisi dengan orang ini, itu equal level. Harusnya sampai sana didorong transparansinya.

Subsidi kotor ini ternyata dinikmati oleh orang yang mampu dan para pengusaha?

Jadi begini, batubara dan gas itu kan kita anggap lebih murah dibandingkan EBT. Karena masalah teknologi karena masalah ketersediaan bahan baku, dan segala macam. Subsidi listrik, membuat harga listrik menjadi lebih murah. Dan ketika harga listrik menjadi lebih murah, hanya fosil fuel yang bisa masuk bersaing karena dia juga murah. Itu yang membuat EBT tidak bisa masuk dan bersaing. Solusinya, subsidi kotor harus dicabut perlahan. Supaya harga listrik meningkat. Ketika harga listrik meningkat, maka, investor EBT, lebih punya peluang, untuk masuk. Jika subsidi kotor dicabut, harga listrik naik, itu akan memberi peluang bagi EBT. Subsidi itu mendistorsi harga di pasar. Akhrinya Cuma fosil fuel yang bisa bermain di situ.

Kalau misalnya subsidi energi kotor dicabut lalu dialihkan ke energi bersih, harga EBT bisa lebih murah nggak dari energi kotor?

Ini butuh riset. Tapi teorinya bisa saja. Karena ada beberapa sumber EBT yang sebenarnya, harganya itu sudah cukup bersaing dengan fosil fuel. Nah sekarang masalah realokasi subsidi energi kotor, mau direalokasikan untuk apa? ini banyak pilihannya. apakah dipakai untuk mensubsidi harga listrik dari EBT? apakah mau dipakai untuk mensubsidi teknologi EBT. Jadi biaya teknologi, biaya awal yang disubsidi. Yang kemudian akan berdampak pada harga akhir. Ketiga, kita tidak mensubsidi listriknya, tapi kita kasih uangnya langsung ke rakyat miskin. Mana yang lebih baik, ini harus diriset dulu. Saya lebih condong teknologinya yang disubsidi. Dengan demikian, harga diakhirnya murah, karena teknologi di awal yang disubsidi. Kalau kita subsidi produknya, maka akan terus-terusan mensubsidi. Tapi kalau subsidi untuk teknologinya, itu mau dicabut subsidinya nanti, tetap murah. Subsid ikan nggak bisa terus2an.

PLT EBT mana yang saat ini memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan?

Panas bumi, itu merupakan salah satu EBT yang bagus dikembangkan. Dan Indonesia, potensi panas buminya kalau nggak salah nomor 3 terbesar di dunia. Sebenarnya itu primadona tapi nggak berkembang. Kenapa, kebetulan titik-titiknya ada di hutan lindung sama masalah izin. Harusnya PLT panas bumi itu, menarik untuk dibicarakan.

Pembangunan PLTA sering kali menimbulkan persoalan konflik sosial, seperti masalah HAM dan agrarian. Bagaimana menurut Anda?

Kita harus lihat Proscons-nya. Pros-nya itu PLTA itu sudah matang. Kita sudah tahu. Kita lebih tahu cara bikin PLTA dibandingkan PLT EBT lain. Kedua, PLTA biasanya skala besar. Jadi enak. Jadi lebih ringkas PLTA dibandingkan PLT EBT lain.

Cons-nya, bikin bendungan itu nggak murah. Pembangunan bisa belasan tahun. Terus kedua ada risiko sosial. Ada dampak buruk ke irigasi masayrakat, terus warga direlokasi. Terus risiko lingkungannya, karena DAS nya berubah, akhirnya biodiversitas berdampak. 

Menurut saya, pinter-pinter saja, dimana dulu nih bangun PLTA. Kalau di situ banyak penduduk yah studi kelayakannya lebih serius. Rekomendasi saya, PLTA itu kan bisa skala kecil, mikro, itu saja yang dikejar. Jadi jangan yang gede. Karena semakin gede semakin berisiko. Bikin aja dulu yang kecil-kecil, plta mikro.

Sekarang kita masuk ke krisis iklim. Sebarapa urgensi transisi energi?

Secara makro, menurut saya, lingkungan itu penting. Harusnya yang berkaitan dengan perubahan iklim, itu urgen. Kenapa, karena eknomi kita itu bergantung pada lingkungan. Semua berasal dari lingkungan. Jadi, terlepas orang menganggap lingkungan penting atau tidak, tetapi tetap saja kita bergantung pada lingkungan. Kalau lingkungan rusak, nggak sustainable. Kalau nggak sustainable yang rugi masyarakat itu sendiri. Harusnya perubahan iklim itu dibuat sebagai masalah keuangan. Selama ini isu perubahan iklim dikemas hanya isu sampingan saja 

Share