Urban farming, Solusi Perempuan Yogyakarta Menjaga Ketahanan Pangan
Hadapi ancaman krisis pangan masa depan karena perubahan iklim, para perempuan kota menggagas urban farming sebagai solusi alternatif untuk mandiri pangan.
“Nanti ada tulisannya, Ledhok Timoho," kata satpam perumahan yang memberitahu saya setelah saya beberapa kali memutari kompleks elit dan tidak menemukan jalan yang tepat di titik Google Maps untuk sampai di kampung Ledhok Timoho.
Sebuah banner bertuliskan Kampung Ledhok Timoho menggantung diapit dua rumah besar. Siapa yang menyangka bahwa jalan utama untuk memasuki kampung ini adalah jalan selebar satu meter yang hanya bisa dilewati satu motor.
Setelah melewati gang kecil itu, ternyata memang benar, terbentang perkampungan di kawasan yang tidak rata. Kampung Ledhok Timoho adalah kampung organik yang tercipta karena kebutuhan hunian oleh orang-orang perantauan dan korban penggusuran. Secara administratif Ledhok Timoho termasuk dalam Kelurahan Muja-Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Pada mulanya kampung Ledhok Timoho di bantaran sungai Gajah Wong tersebut hanya dihuni oleh dua orang yang mendirikan rumah sejak tahun 1995. Hingga kini, ada kurang lebih 170 orang yang tinggal menetap di sana.
Di sisi kanan beberapa meter setelah keluar dari gang jalan masuk, terdapat sebuah pagar bambu yang mengitari kebun sayur. Terlihat tanaman kangkung siap panen, sawi, bayam, lembayung, terong yang masih amat muda, kacang panjang, timun, gambas, cabai, serta waluh yang menjalar dan belum terlihat buahnya.
Selain tanaman sayur, ada pula tanaman umbi-umbian seperti ubi jalar serta kolam semen berukuran 3 x 2 meter yang terlihat banyak ikan-ikan kecil berenang.
Ialah Sri Hariyani (52), ketua kelompok tani lansia produktif (KTLP) Ledhok Timoho yang menggagas dan menghidupkan produksi pangan mandiri di kampung tersebut.
Akrab disapa dengan Yani, ia merantau dari Sumatera ke Yogyakarta pada tahun 1986 untuk menempuh pendidikan sekolah menengah kejuruan, sejak saat itulah ia memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta.
Yani sendiri tergabung dalam Uplink/Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) di Yogyakarta. Bersama dengan kawan lainnya di organisasi itu, ia mengawali tinggal di kawasan Ledhok Timoho yang dulunya masih berupa semak-semak tinggi. “Mulanya di sini hanya 6 KK, saya diajak teman dari JRMK untuk tinggal di sini." terangnya saat ditemui di kediamannya pada Jumat (8/10).
Keputusannya pindah ke Ledhok Timoho di tahun 2000-an, dilatari karena kesulitannya menjangkau tempat tinggal yang sesuai dengan dana yang dimiliki.
Menjadi tulang punggung keluarga dan berhasil menyekolahkan tiga anaknya sendirian, kini sehari-hari, Yani bekerja sebagai akupresur dan menjual telur asin. Dari dulu Yani mengaku, memang suka menanam dan memanfaatkan lahan kosong. Terlihat di halaman rumahnya yang tak terlalu luas, terdapat bayam brazil, cabai, juga kolam lele.
Kini ia menambah kesibukannya dengan mengelola kebun pangan Ledhok Timoho. Kebun pangan tersebut memiliki luas sekitar 900 meter persegi, dan mulai beroperasi sejak 5 Maret 2021.
Awalnya lahan kosong tersebut kerap disalahgunakan sebagai tempat pembuangan sampah oleh orang di luar kampung. Setelah meminta izin pemilik lahan, akhirnya Yani mulai menggagas untuk menanaminya aneka sayur. “Kemudian saya bikin kelompok, kegiatannya kami salah satunya itu bertani di lahan tersebut, supaya kampung hijau. Kalo sayuran kan bermanfaat, kalo sampah kan membuat kotor." cerita Yani.
Kebun pangan tersebut juga diharapkan menjadi sumber pangan warga Ledhok Timoho. Selama pandemi Yani mengungkapkan warga kampung Ledhok Timoho memang cukup terpukul keras karena rata-rata bekerja di sektor informal seperti dirinya yang bergantung pada pemasukan dari hari ke hari. Hal itu pun berdampak pada kebutuhan pangan keluarga sehari-hari.
“Kami nanem harapannya bisa bermanfaat bagi warga kita, bisa mengurangi pengeluaran lah. Ya meski kami jual juga ke anggota, tapi harganya jauh lebih murah dari harga di pasar."
Uang hasil jualan itu pun nantinya digunakan untuk membeli bibit dan membeli peralatan pertanian yang dibutuhkan untuk terus menunjang kelangsungan kebun pangan.
Setiap bulan kelompok tani Ledhok Timoho memiliki jadwal pertemuan yang rutin sebagai komitmen untuk lebih mandiri pangan, di antaranya yaitu kerja bakti setiap Minggu pagi, jadwal siram setiap Senin sampai Sabtu, dan Minggu ke-empat yang digunakan untuk memanen sayuran, kemudian sarapan bersama.
Di sisi lain perempuan lulusan D3 pertanian tersebut mengaku memilih pertanian organik karena lebih sehat untuk dikonsumsi. Pertanian organik yang dipraktikkan kelompok tani lansia produktif tersebut menggunakan pupuk organik dari sampah sisa makanan buah dan sayur.
Setelah tiga bulan urban farming Ledhok Timoho berjalan, Solidaritas Perempuan Kinasih mendampingi kelompok tani Ledhok Timoho dan memberikan akses pelatihan pupuk organik oleh kelompok tani perempuan Kulon Progo.
Berjarak 2,8 kilometer dari kampung Ledhok Timoho, dari jalan Doktor Sutomo yang padat memasuki Jalan Ronodigdayan sekitar 110 meter kemudian, menepi ke kanan, terdapat sebuah kebun dengan plang pintu masuk yang rimbun oleh tanaman telang bertuliskan “Pekarangan Pangan Lestari Kampung Sayur Bausasran".
Simak laporan Ani Marda selengkapnya di https://www.ekuatorial.com/
Banner Image : Urban farming di kampun Ledhok Timoho, Yogyakarta . Foto: Ani Marda/Merdeka.com